Metode Rasulullah SAW Dalam Meluruskan Kesalahan
Keterangan :
Allah SWT telah mengutus Nabi-Nya sebagai rahmatan bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya' : 107). Sehingga segala gerak-geriknya menjadi perhatian kita, karena keagungan akhlaknya (QS. Nur : 4). Dikarenakan dia dibimbing langsung oleh Allah SWT (QS. Al-Imran : 159). Maka jelaslah sikapnya terhadap orang kafir dan terhadap sesama mukmin (QS. Al-Fath : 29). Dan cara yang ditempuhnya diarahkan dengan membawa kabar gembira dan peringatan (QS. Al-Ahzab : 45 - 46). Dalam kaitan topik diatas kita perlu mengkaji, mencermati dan meneladani sikap Rasulullah SAW di dalam meluruskan kesalahan seseorang. Sebab kita banyak mendapatkan perbedaan yang tajam di masyarakat dalam mengkaji kesalahan seseorang. Ada yang mengkaji kesalahan tersebut dengan kekerasan seperti menampar, memukul, dan sejenisnya, ada juga yang acuh tak acuh, tak ambil peduli, padahal sikap tersebut bisa menyebabkan kesalahan semakin fatal. Disinilah diperlukan kebijaksanaan yang intinya keadilan (Adil). Permusuhan ini tentu erat kaitannya dengan pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses terus menerus dalam upaya mengembangkan kepribadian sampai ke tingkat kesempurnaan atau kematengan )lihat buku; Madkhal Ilat Tarbiyah fi Dhoil Islam, karangan Abdurrahman Al-Bani, hal. 7 - 13). Sedangkan pendidikan Islam merupakan upaya mengembangkan pemikiran, mengatur pola laku dan perasaan manusia dengan berbagai cara dan sarana berdasarkan agama Islam bertujuan mewujudkan tujuan-tujuan Islam berupa penghambaan kepada Allah dalam kehidupan pribadi dan masyarakat dalam segala aspek kehidupan (lihat buku: Ushul Tarbiyah Islamiyah, karangan Abdurrahman Amakhsi, hal. 27).
Berdasarkan ayat di atas bahwa Rasulullah SAW bertugas menyampaikan ayat-ayat Allah dan mensucikan (Tazkiyah) ummat Islam dari segala perangai busuk dan mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Al-Qur'an menggunakan istilah tazkiyah (lihat juga QS. Al-Jum'ah : 12 dan Asy-Syams : 9). Yang digunakan istilah modern dengan tazkiyah. Dan hasil dari tazkiyah tersebut disebut oleh Al-Qur'an, rabbaniyyin (lihat QS. Al-Imran : 79 dan 146, dan Al-Maidah : 44 dan 63).
Diantara bentuk tazkiyah (tarbiyah) itu adalah bagaimana cara Rasulullah SAW meluruskan kesalahan seseorang atau sekelompok orang sebagai upaya pendidikan untuk membentuk karakter orang muslim menjadi baik. Di bawah ini kami bawakan beberapa contoh :
Seseorang berkata kepada Rasulullah SAW : "Allah berkehendak dan engkaupun berkehendak, wahai Rasulullah! Rasulullah SAW mengingkari perkataannya : Apakah engkau jadikan aku tandingan Allah? Tetapi katakan, Allah sendiri yang berkehendak." (HR. Ahmad, Bukhari di Al-Adab Al-Mufrad, Ibnu Majah dan Baihaqi dengan sanad hasan).
Adi bin Hatim meriwayatkan ada seseorang yang berkhutbah di hadapan Rasulullah SAW seraya berkata : "Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah berjalan yang benar dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya, maka sungguh dia telah sesat, sehingga Rasulullah SAW menegornya : Sungguh seburuk-buruk khatib adalah engkau. Katakan, barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasai, Baihaqi, Ahmad dan Thabrani).
Demikian pula, ketika beliau melihat seseorang yang salah dalam melaksanakan shalat karena terlalu cepat, maka beliau tegor dan diajarinya bagaimana shalat yang benar. (HR. Bukhari dan Muslim).
- Bersaudara dan Saling Menasihati
Api peperangan di lembah Badr telah padam. Perang ini berakhir dengan kemenangan Dienul Haq (agama yang benar) atas Dienul Kufr. Sejumlah 14 mujahid muslimin syahid; 6 orang dari pihak Muhajirin, sisanya 8 orang dari pihak Anshar. Di lain pihak sebanyak 70 orang tentara musyrik Makkah ditawan, dan 70 orang lainnya tewas. Kebanyakan dari mereka adalah para pemuka dan pembesar Makkah.
Sebelum Islam datang, masyarakat Arab hidup dalam sistem 'ashabiyyah yang fanatik terhadap qabilah (suku) dan keturunan. Hubungan mereka kepada suku dan keturunan adalah hubungan hidup dan mati. "Bela saudaramu salah atau benar", itulah semboyan mereka yang diterjemahkan secara harfiah. Hidup dan mati mereka dipersembahkan untuk menjaga kehormatan dan keberlangsungan suku dan keturunan. (Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, hal. 45)
Dan di perang Badr ini (Ramadhan 2 H), perang pertama dalam sejarah perjalanan Islam, justru mereka orang-orang Muhajirin Makkah khususnya berperang melawan saudara, keturunan dan suku, bahkan ada yang berperang melawan ayah, paman atau anaknya sendiri, yang berbeda aqidah. Umar bin Al-Khaththab membunuh pamannya, 'Ash bin Hisyam yang kafir. Abu Bakr berperang melawan anaknya, Abdurrahman yang ketika itu belum memeluk Islam.
Lain lagi kisah antara Mush'ab bin Umair dan saudara kandungnya, Abu Aziz bin Umair. "Perkuat ikatannya, ibunya adalah orang yang kaya raya. Siapa tahu ia akan menebus anaknya dengan tawaran yang mahal", pinta Mush'ab kepada orang Anshar yang menawan Abu Aziz sebagai tawanan perang Badr.
"Beginikah caramu memperlakukan saudara kandungmu?' tanya Abu Aziz heran. "Kamu bukan saudaraku. Tapi orang yang menahanmu itulah saudaraku," jawab Mush'ab (wafat 3 H) dengan tegas.
Islam telah merajut tali persaudaraan antara sesama pemeluknya tanpa mengenal batas hubungan darah, warna kulit, status sosial dan batas negara. Dan hal tersebut telah dipraktikkan secara sempurna oleh generasi pertama Islam, para sahabat Nabi `.
Ukhuwah dan Solidaritas
Rasa ukhuwah (persaudaraan) yang dilahirkan Islam buat pemeluknya telah melahirkan sifat solidaritas sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Muslim dan dalam peradaban manusia. Al-Qur'an mengabadikan realitas tersebut.
"Dan mereka (orang-orang Anshar) mengutamakan (Orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)" (Al-Hasyr: 9).
Seorang lelaki mendatangi Nabi shallallahu alaihi wasalam , tulis Ibn Katsir ketika menafsirkan ayat di atas tadi di dalam tafsirnya. "Ya Rasulullah, saya sedang tertimpa kesusahan" kata orang tadi mengadu-kan nasibnya. Si lelaki tadi disuruh mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu alaihi wasalam . Namun, ia tidak menemukan bantuan karena mereka juga tidak punya.
"Adakah seseorang yang mau menjamunya malam ini? Semoga Allah merahmatinya" seru Rasulullah shallallahu alaihi wasalam kepada para sahabatnya.
"Saya ya Rasulullah" jawab Abu Thalhah, orang Anshar menyanggupi.
"Ini tamu Rasulullah shallallahu alaihi wasalam , sediakan semua jamuan untuknya dan jangan disisakan" pinta Abu Thalhah kepada istrinya setelah ia tiba di rumah. "Tapi kita tidak punya makanan apapun kecuali makanan untuk anak-anak", jawab istrinya masygul.
"Jika anak-anak minta makan ajaklah tidur, kemudian kamu ke sinilah lalu matikan lampu, dan biarlah kita sekeluarga lapar malam ini". Di kala pagi Abu Thalhah bertemu Rasulullah, lalu beliau bersabda: "Allah merasa kagum (atau tertawa) kepada dia dan isterinya", kata Rasulullah ` memuji. (HR. Al-Bukhari)
Islam telah mengikrarkan bahwa sesama Muslim adalah bersaudara. "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara" (Al-Hujurat: 10). Ayat ini telah meletakkan dasar keimanan sebagai tali pengikat rasa ukhuwah. Perbedaan warna kulit, suku, bangsa dan status sosial telah disatukan Islam dalam kerangka Iman. Islam memprioritaskan seseorang berdasarkan status taqwanya.
Allah berfirman: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu" (Al-Hujuraat: 11).
Rasa ukhuwah yang tumbuh pada setiap jiwa orang mukmin merupakan nikmat Allah yang perlu diingat (disyukuri). Ukhuwah di dalam Islam mempunyai arti tersendiri. Penyebutan ukhuwah -sebagai suatu nikmat- didahulukan dari penyebutan diselamat-kannya orang-orang yang beriman dari neraka (lihat QS. Ali Imran: 103).
Rasa ukhuwah akan tumbuh subur jika sifat ananiyah (mementingkan diri sendiri), dan cinta dunia dikubur dalam-dalam. Untuk menghilangkan sifat ananiyah, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam menjadikan rasa cinta kepada sesama Muslim sebagai bentuk kesempurnaan Iman.
"Tidak (sempurna) iman seseorang hingga ia menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya".(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dan nilai-nilai keduniaan yang akan menjadi penghambat tumbuhnya rasa ukhuwah akan sirna jika manusia melihat dan merenungi asal-usulnya, dan menyadari bahwa kemuliaan yang hakiki di sisi Allah dinilai dari sisi ketaqwaannya.
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam bersabda: "Wahai manusia, Tuhan kalian satu, dan bapak kalian satu, kalian berasal dari Adam, dan Adam dari tanah. Sesungguh-nya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa lain, tidak pula bagi bangsa lain atas bangsa Arab, tidak ada keutamaan bagi kulit merah atas kulit putih dan bagi kulit putih atas kulit merah, melainkan dengan takwanya." (HR. Ahmad).
Rasa ukhuwah berwujud dalam bentuk solidaritas sosial. Solidaritas sosial di kalangan umat muslimin ada dua macam; dalam arti moral dan material. Solidaritas dalam arti material terdiri dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, perasaan ikut mengalami kesusahan yang diderita oleh anggota masyarakat, kesediaan untuk membantu memperjuangkan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan standar hidup masyarakat, dan pelayanan terhadap seluruh anggota masyarakat dalam hal-hal yang menguntungkan mereka.
Sedangkan solidaritas sosial dalam arti moral diwujudkan dalam bentuk kemauan untuk mengajak sesamanya untuk mengakui dan mengikuti kebenar-an serta menjauhi segala kemungkaran -al amru bil ma'ruf wannahyu 'anil munkar.
Ukhuwah sejati adalah ukhuwah yang dibina atas dasar keimanan. Rasa ukhuwah yang dibangun bukan atas dasar iman –entah itu kepentingan pribadi atau kelompok- hanya akan langgeng jika aspek yang menguntungkan kepentingan tadi ada. Tanpa dasar keimanan, persaudaraan hanya akan menjadi sarana untuk meraih kepen-tingan duniawi, tak lebih dari itu.
Berukhuwah dan Saling Menasihati
Termasuk dari lima orang pertama yang masuk Islam adalah Abu Bakar (wafat 13 H). Abu Bakar adalah teman dekat Nabi shallallahu alaihi wasalam . Keduanya telah lama berteman jauh sebelum Nabi diangkat menjadi Nabi & Rasul. Dan lewat persahabatan, Abu Bakar meng-Islamkan Usman bin Affan (wafat 40 H), Zubair bin Awwam (wafat 36 H), Abdurrahman bin Auf (wafat 34 H), Sa'd bin Abi Waqqas (wafat 55 H) dan Thalhah bin Ubaidillah (wafat 36 H). Di sini Abu Bakar menggunakan hubungan persahabatan untuk menyebarkan Islam kepada teman-temannya yang dikenal kepribadiannya dengan baik.
Menasehati teman (seseorang) yang telah dikenal baik, kemungkinan untuk diterima lebih besar. Nasehat tidak mesti harus diterima, kadang bahkan tidak diterima sama sekali. Diperlukan waktu dan pengulangan nasihat agar dapat diterima –jika Allah menghendaki. Al-Qur'an dan Al-Hadits pun menggunakan bahasa 'pengulangan' untuk suatu perintah (baca: nasihat) tertentu.
Allah mengulang-ulang ayat yang artinya "maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan" seba-nyak 30 kali dalam satu surat (Ar-Rahman: 55). Tentunya ayat tersebut dilatarbela-kangi dengan hal yang tidak sama. Ikhlas dan mutaba'ah (mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasalam : berilmu) adalah syarat mutlak menasihati. Nasihat adalah imad (tiang) agama. (HR Muslim).
Jaga muru'ah (kehormatan) dan harga diri dengan memberi nasihat sesuai apa yang kita kerjakan. Bercerminlah sebelum menasihati. Orang akan mencibir dan mencemooh terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak diperbuatnya. Allahpun amat benci terhadap orang yang bersifat seperti itu.(Ash-Shaff: 3). Meniru matahari yang selalu menerangi alam raya tanpa harus memusnahkan dirinya, rasanya lebih bijaksana daripada menjadi sebatang lilin yang menerangi sebidang ruang gelap tapi dengan membakar diri sendiri. Wallahu a'lam. (Asri Ibnu Tsani).
Tafsir Ibnu Katsir dan rujukan lainnya. (Al-Sofwah)
Menyikapi Egoisme
"Akan ada sikap egoisme dan hal-hal yang tidak kamu senangi. Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah perintahmu untuk kami?" Beliau bersabda, "Laksanakanlah kewajibanmu, dan mintalah kepada Allah yang kamu perlukan." (HR. Bukhari dari Ibnu Mas'ud)
R asulullah banyak memberi bimbingan kepada sahabat tentang sesuatu yang belum mereka temui pada masanya. Bahkan sampai mereka meninggalpun prediksi Nabi itu belum juga terjadi. Sesungguhnya hal itu menandakan bahwa risalah kenabiannya tidak terbatas pada ummat segenerasinya, tapi berlaku sepanjang masa. Karenanya, meskipun yang dihadapi adalah sahabat-sahabatnya, beliau tetap juga memberi pelajaran yang mungkin baru bermanfaat bagi generasi yang jauh sesudahnya.
Para sahabat tentu saja heran mendengar pernyataan Rasulullah bahwa akan ada satu sikap egois dan hal-hal yang tidak mereka senangi. Sebab selama ini mereka hidup saling menolong. Mereka sangat peduli terhadap nasib orang lain. Bahkan orang lain lebih dipentingkan dari pada diri mereka sendiri.
Dalam kesehariannya, para sahabat ini dikenal sangat pemurah. Mereka tidak bakhil, juga tidak mementingkan diri sendiri. Bila ada yang memerlukan bantuan, mereka segera mengulurkan tangan. Meskipun mereka sendiri sebenarnya sangat berkekurangan, mereka tetap rela juga mau berkorban untuk orang lain. Karena sifat pemurahnya, Allah berkenan mengabadikan dalam al-Qur'an:
"Bahkan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesusahan." (QS. Al-Hasyr: 9)
Setelah mereka mendapat informasi dari Nabi tentang sikap egois ini, secara bersamaan mereka bertanya bagaimana sikap menghadapi mereka. Sungguh ini merupakan pertanyaan yang kritis. Inilah cara mengajar Rasulullah kepada para sahabatnya. Beliau tidak hanya menyampaikan pelajaran secara searah, tapi juga dengan dialog. Ada timbal balik. Rangsangan dari Rasulullah direspon oleh para sahabatnya, kemudian dikembalikan lagi oleh Nabi dengan jawaban-jawaban yang bijaksana.
Egoisme atau sikap mementingkan diri sendiri, sebagaimana prediksi Nabi kini telah merambah pada setiap sektor dan lini. Tidak hanya di pemerintahan, tapi juga di swasta. Tidak hanya menimpa para pengusaha, tapi juga para guru. Mulai dari atas sampai ke bawah, selalu ada orang-orang yang egois, lebih mementingkan dirinya sendiri dari pada kepentingan orang banyak. Mereka tak peduli, apakah tindakannya menyusahkan orang lain atau tidak. Bagi mereka yang penting adalah imbalan kenikmatan bagi dirinya sendiri.
Lebih parah lagi, sikap itu berkembang menjadi sebuah eksploitasi. Jika perlu, begitu prinsip mereka, negara ini adalah untuk dirinya dan seluruh rakyat harus melayaninya. Sentral kehidupan ini adalah diri mereka sendiri. Karenanya mereka tidak mengharamkan korupsi, kolusi dan manipulasi, asal semua itu untuk kepentingannya. Tapi jika yang melakukan orang lain, maka mereka siap menggebuki.
Bagaimana sikap ummat Islam bila dihadapkan pada kondisi seperti ini? Rasulullah memberikan wejangan agar kita tetap melaksanakan segala kewajiban dan menyerahkan segala urusan kepada Allah.
Segala amanat yang ada di pundak kita, baik amanat yang ada hubungannya dengan Allah, maupun amanat yang berkaitan dengan sesama manusia harus diselesaikan. Jika kita punya jabatan, maka segala tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatan itu harus dituntaskan. Biarlah orang lain bersikap egois, tapi kewajiban jalan terus.
Ini prinsip, agar kita tidak terseret ikut arus. Kita harus tetap bekerja walaupun terjadi huru-hara. Biarlah, itu urusan mereka. Yang jadi dokter tetaplah bekerja mengobati orang sakit. Yang jadi guru tetaplah mengajar dan mendidik. Yang jadi pedagang, tetaplah bekerja. Tunaikan semua kewajiban. Jangan terpengaruh oleh tingkah-polah orang lain.
Jika sikap egoisme itu sudah sampai pada ambang bahaya, di mana hak orang lain mulai dilanggar, maka kewajiban setiap muslim adalah beramar ma'ruf nahi munkar. Tegurlah seperlunya. Berilah nasehat agar kembali ke jalan yang lurus. Jika tetap melanggar, serahkan urusan itu kepada Allah. Yang penting kewajiban mengingatkan sudah terlaksana.
Ummat Islam tak perlu frustrasi jika menghadapi situasi seperti di atas. Percayalah kepada Allah bahwa Dia tidak pernah lalai terhadap segala perbuatan manusia. Dia selalu memantau pekerjaan orang orang yang zhalim, dan akan memberi pembalasan yang sewajarnya. Allah berfirman:
"Dan janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim." (QS. Ibrahim: 42)
Kita harus tetap menjaga kebersihan hati dari sifat dengki, hasud, marah, jengkel, dan frustrasi menghadapi tindak kezhaliman para penguasa.
Serahkan kepada Allah. Dia-lah yang paling berkuasa di langit dan di bumi. Dia berkuasa untuk mengangkat seseorang, berkuasa pula melorotnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar